Pada kangen sama Bian dan Tari ? Sembari menunggu novelnya, berikut ada serial manis tentang mereka
“Assalamu’alaikum.” Bian mengucapkan salam saat membuka pintu rumahTari yang sedang memotong buah di dapur langsung menghentikan aktivitasnya. “Wa’alaikumussalam.” Ia mencuci dan mengelap tangannya lalu beranjak ke depan. “Kok lama banget?” Suaminya baru saja pulang dari masjid. Seperti biasa, setiap akhir pekan ada kajian setelah salat Subuh. Hari ini Tari tidak ikut karena sedang datang bulan .
“Iya, tadi ngobrol dulu sama bapak-bapak, biasa .... ” Bian menutup pintu dan melangkah ke dalam Tari segera menyambut suaminya dengan pelukan. Ia menghirup napas dalam. “Kamu wangi.” Ia betah berlama-lama berada di dalam dekapan Bian. Selain rasa aman, ia juga merasa bahagia. Bian tertawa kecil. “Kamu juga wangi ... kue,” candanya.
“Habis bikin apa?” “Brownies,” jawab Tari masih menyandarkan kepalanya di dada Bian “Sounds delicious.” Bian mengusap punggung istrinya perlahan “Hmmm ..., “ gumam Tari tidak jelas.
Masih menikmati dekapan suaminya “Aku lapar,” rengek Bian “Sebentar lagi.” Bian tersenyum kecil. Istrinya seorang pemeluk. Ia baru tahu hal itu setelah mereka menjadi suami istri yang sesungguhnya. Tari tahan berpelukan selama dua menit penuh.
Perlu diketahui, dua menit itu lama. Coba saja hitung dari satu sampai enam puluh, lalu dikali dua. Hitung sesuai dengan detik jam, jangan cepat-cepat. Nah ... lama, kan?
Menurut penelitian, pelukan memang memberikan rasa aman, merangsang keluarnya hormon oksitosin dan serotonin yang menimbukan rasa tenang dan bahagia, dan meningkatkan keterikatan spiritual dan emosional dengan pasangan. Tapi dengan pasangan halal, ya “Kamu wangi,” ulang Tari. Masih melingkarkan tangan di pinggang suaminya “Iya, kamu sudah bilang tadi,” Bian tertawa pelan Tari mendongak menatap suaminya lekat “Kenapa?” tanya Bian Tari menggeleng.
Sampai detik ini rasanya masih seperti mimpi. Bian benar-benar menjadi miliknya. Hati suaminya tidak lagi terbagi. “I love you.” Bian tersenyum simpul. “And I-love-you.” Ia mengecup bibir istrinya singkat. “Boleh aku makan sekarang. Lapar .... “
Tari berdecak kesal. Bian merusak momen romantisnya “Jangan merajuk.” Bian mencubit pipi istrinya pelan. “Nanti aku kasih lagi.” Tari mencebik. Ia memisahkan diri dari suaminya. “Tadi ustaznya siapa?” Ia menggandeng tangan Bian menuju meja makan “Ustaz Andre,” jawab Bian seraya duduk Tari ke dapur mengambil sarapan untuk suaminya “Oya? Keren dong.”
Ia juga pernah menghadiri pelatihan yang diisi oleh Ustaz Andre “Iya. Materinya juga keren.” Tari meletakkan piring berisi potongan buah di meja “Buah aja?” tanya Bian. Padahal dia sedang lapar. “Mana brownies-nya?” “Buah dulu.” Tari duduk di hadapan Bian seraya tersenyum manis pada suaminya. “Sunahnya buah dulu.” “Baik Bu Ustazah,” canda Bian Tari tersenyum simpul. “Ustaznya cerita apa tadi?” Bian menusuk pepaya dengan garpu. “Tentang rezeki.”
“Terus .... “ Tari menunggu kelanjutannya Bian mengunyah pelan. “Jadi, kata ustaznya, rezeki itu bermacam-macam dan ada tingkatannya. Termasuk keterbatasan yang kita miliki, itu juga rezeki.” Ia memulai penjelasannya “Keterbatasan?” Tari menautkan alisnya. “Maksudnya?” Bian kembali menusuk pepayanya. “Iya, keterbatasan. Manusia kan punya keterbatasan. Pendengaran kita terbatas. Coba kalau kamu punya pendengaran seperti superman, apa nggak pusing setiap hari mendengar suara berisik dari ujung dunia?”
Tari cengengesan. “Ogah, nanti ngedengerin orang-orang gosip tentang aku, bikin sakit hati.” “Nah, nggak mau, kan?” “Terus apa lagi?” “Minum, dong. Seret, nih,” pinta Bian Tari menyerahkan gelasnya. “Nih.” Makan buah kok seret, batinnya Bian meminum seteguk kemudian melanjutkan ceritanya. “Keterbatasan lain seperti mata. Penglihatan kita terbatas.
Tidak bisa melihat yang sangat jauh, atau makhluk gaib.” Bian kembali memakan pepayanya. “Coba kalau kamu bisa melihat yang gaib, pasti ngeri setiap kali masuk kamar mandi.” “Ih, kok jadi horor sih ceritanya,” protes Tari. Dia jadi merinding memikirkan masuk ke kamar mandi dan melihat ... Bian tersenyum mendengar ucapan istrinya. “Mau lanjut nggak, nih?” “Iya, lanjut.”
“Keterbatasan lain adalah umur. Coba bayangkan kalau kita tidak mati-mati, mau sampai berapa umur kita? Kalau yang sakit bisa sampai ratusan tahun. Terus berapa banyak harta yang harus kita punya untuk menghidupi anak , cucu, cicit, cocot, cecet .... “ Bian mengarang sendiri istilah yang terakhir Tari mengangguk-angguk membenarkan “Jadi keterbatasan yang kita miliki adalah rezeki, dan itu harus disyukuri,” tutup Bian Membicarakan tentang rezeki, membuat Tari ingat sesuatu. Anak.
Sampai sekarang ia belum hamil juga. Kadang sedih ketika ada yang bertanya apakah dia sudah hamil atau belum “Kenapa, Sayang?” tanya Bian saat melihat perubahan pada raut Tari. Dia meletakkan garpu dan meraih tangan istrinya seraya mengusapnya pelan Tari tersenyum canggung. “Nggak.” Tapi Bian tidak percaya begitu saja. “Nggak salah lagi,” candanya Tari tertawa kecil. “Nggak ada apa-apa.” “Tuh, kan ... mulai, deh,” balas Bian. “Cerita, dong.”
Tari menarik napas. “Anak juga rezeki, kan?” Bian tertegun, mengerti apa yang dimaksudkan istrinya. “Iya, anak juga rezeki.” Tari tidak bicara apa-apa lagi “Kamu sedih?” tanya Bian Tari menggeleng. Lalu mengangguk Bian meremas tangan istrinya itu pelan. “Kita menikah belum dua tahun. Bahkan setahun pertama aku sia-siakan begitu saja, bukannya berusaha membuat kamu hamil, malah pisah kamar.”
Tari tersenyum kecil mengingat pernikahannya dulu “Sini .... “ Bian merentangkan tangan, hendak memberikan pelukan kepada istrinya Tari beranjak berdiri dan duduk di pangkuan suaminya. Bian mendekapnya ringan. Ia menyandarkan kepala di bahu suaminya “Rezeki itu akan mengejar pemilknya sampai dapat. Sebelum ajalnya tiba.” Bian mengecup sayang kepala istrinya. “Jadi kita tidak perlu sedih, karena ia pasti datang.” “Aku nggak sedih, aku cuma .... “ Suara Tari terdengar serak Bian tidak bicara, ia hanya mengeratkan dekapan dan menunggu sampai istrinya tenang
“Gimana kalau kita nonton siang ini?” usul Bian setelah beberapa menit “Nonton?” Tari malas keluar rumah hari ini “Iya.” Bian terdengar semangat. “Seperti yang dulu pernah kita lakukan, kencan di rumah.” Tari mendongak. “Seriusan?” serunya senang Bian mengangguk. Mudah sekali membuat suasana hati istrinya menjadi baik “Makasih, Sayang.” Tari mengecup bibir suaminya singkat.
Ia langsung beranjak berdiri dan menuju tangga “Mau ke mana?” tanya Bian saat istrinya menaiki tangga “Siap-siap!” seru Tari sebelum masuk ke kamar Sebuah senyum penuh rencana tercetak di wajah Bian. Mungkin kencan ini akan berakhir manis. Atau ..., bagaimana kalau mereka skip saja acara menonton film dan langsung ke main course ?
Bian beranjak berdiri dan menyusul istrinya ke kamar “Sayang, belanjaan kemarin kamu taruh di mana? Ada pembalutku di sana.” tanya Tari ketika suaminya masuk ke kamar Bian tertegun. Sial! Ia baru ingat kalau istrinya sedang datang bulan. Gagal, deh. **** Coba lagi lain kali, Bian.
Bersambung ke
sini